Aku pernah menemuimu di perempat malam, juga di senja di sela larian
anak bermain layang-layang. Semua hal yang kau minta, sebisanya aku
perjuangkan. Segala hal yang ku lakukan tak lain untuk membuatmu menjadi
tenang. Karena, jauh di dalam hati, aku tak ingin cinta yang tumbuh ini
tiba-tiba mati. Karena kesepian akan datang memeluki. Dan aku tak mau
semua itu terjadi, kepadamu, kepadaku, kepada kita.
Apa
yang kurasa, selalu ku jaga. Agar cinta selalu bisa menghangatkan dada.
Agar cinta tak pernah membiarkan air mata mendekat. Dan semua hal yang
membuatmu tertawa selalu kuiringi dalam doa. Selalu ku jalankan dalam
langkah-langkah lelah, meski tertatih, meski letih. Untuk keutuhan kita
aku tak pernah menginginkan duka.
Hingga pada suatu hari,
ada manusia lain yang kau sebut bagian dari hati. Dia yang diam-diam
mencuri hatimu terdalam. Bagaimana bisa? Aku tak pernah lengah menjaga
apa yang kita punya. Aku yang selalu menyerahkan segala asa hanya kepada
kamu. Hanya ingin hidup denganmu. Tapi kenapa, nyatanya dia yang kau
sebut cinta. Dan menusukan sebait kata bernama luka di sudut dada.
Begitu dalam. Membuat lebam.
Harusnya aku tak sedih.
Karena apa gunanya mempertahankan seseorang yang jelas-jelas tidak
pantas dipertahankan. Namun, selain mendatangkan rindu dan bahagia,
cinta juga bisa mendatangkan pedih yang tak terkira. Kau sukses
memberikan itu kepadaku. Kesakitan ini yang akhirnya membuatku harus
belajar berhenti mencintaimu. Harus berhenti merapal doa untuk hidup
denganmu. Harus melupakan kenangan bersama anak-anak bermain
layang-layang senja itu.
“Kadang, apa yang terlalu kau
percaya tak jarang mendatangkan luka yang pedih tak terkira. Seperti dia
yang begitu kucinta, dengan sengaja menjadikan manusia lain menjadi
bahagianya. Ternyata cinta tak pernah cukup bagi manusia yang tak serius
pada hati. Terima kasih pernah menemani, –juga pernah melukai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar